Friday 31 May 2013

KOMPLEKSOMETRI


BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Salah satu metode titrimetri adalah titrasi pembentukan kompleks yang juga dikenal sebagai kompleksometri. Metode ini memungkinkan penentuan analisis pengukuran untuk sejumlah kation bervalensi banyak dalam larutan air. Metode ini berdasarkan penentuan khelat organik yang larut dalam air dan praktis tidak terdisosiasi.
Dewasa ini pereaksi yang paling sering digunakan dalam titrasi kompleksometri adalah ligan bergigi banyak yaitu asam etilen diamin tetra asetat (EDTA). Krena senyawa ini sukar larut dalam air maka garam dinatriumnya lebih mudah larut digunakan untuk membuat larutan pentiter.
Keuntungan dari metode kompleksometri adalah waktu pengerjaannya lebih sederhana dibandingkan gravimetri dan spektrometer. Sedangkan kerugiannya adalah penentuan titik akhir susah ditentukan, karena sangat dipengaruhi oleh pH dan bahan yang digunakan cukup banyak dibandingkan dengan metode lain yaitu larutan bak, indikator, larutan dapar, dan larutan asam atau basa.
Titrasi kompleksometri ini digunakan untuk penetapan kation bervalensi banyak dalam air. Di dalam dunia farmasi, metode ini banyak digunakan dalam penetapan kadar suatu senyawa obat yang mengandung ion logam Misalnya penentuan kadar MgSO4 yang digunakan sebagai laksativum atau ZnO yang digunakan sebagai antiseptik.

I.2 Maksud dan Tujuan
I.2.1 Maksud Percobaan
Mengetahui dan memahami cara penentuan kadar suatu zat dengan menggunakan metode analisis volumetri.
I.2.2 Tujuan Percobaan
Menentukan kadar zat CaCl2 dengan menggunakan metode kompleksometri

I.3 Prinsip Percobaan
Penentuan kadar CaCl2 dengan menggunakan metode kompleksometri dengan zat titrasi atau titran digunakan komplekson EDTA, menggunakan indikator Biru hidroksi Naftol dengan titik akhir titrasi dicapai pada saat larutan berubah dari warna merah jambu menjadi warna biru tua.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Teori Umum
Analisa kimia farmasi kuantitatif untuk zat-zat anorganik yang mengandung ion-ion logam seperti aluminium, bismuth, kalsium, magnesium dan zink dengan cara gravimetri memakan waktu yang lama, karena prosedurnya meliputi pengendapan, penyaringan, pencucian dan pengeringan atau pemijaran sampai bobot tetap(1).
Sekarang ditemukan prosedur titrimetri yang baru untuk penentuan ion-ion logam ini dengan pereaksi etilen diamion tetra asetat dinatrium, yang umumnya disebut EDTA dengan menggunakan indikator terhadap ion logam yang mempunyai sifat seperti halnya indikator pH pada titrasi asam basa, dengan dasar pembentukan kompleks khelat yang digolongkan dalam golongan komplekson(1).
Dalam penentuan ion-ion logam secara titrasi kompleksometri umumnya digunakan komplekson III (EDTA) sebagai zat pembentuk kompleks khelat, dimana EDTA bereaksi dengan ion logam yang polivalent seperti Al+++ , Bi+++ , Ca++ , Cu++ membentuk senyawa atau kompleks khelat yang stabil dan larut dalam air(1).
Dalam perkembangan analisa kimia kompleks, kompleksometri pengkhelat yang paling umum dan menonjol dalam penggunaannya adalah EDTA, faktor-faktor yang membuat EDTA sebagai titrimetri (3) :
  • Dengan ion logam membentuk kompleks 1:1 sehingga reaksi hanya berlangsung satu tahap.
  • Konstan kestabilan khelatnya umumnya besar sekali sehingga reaksinya sempurna (kecuali logam alkali).
  • Banyak ion logam yang bereaksi cepat.
Pemberian khelat adalah anion organik yang pada jarak tertentu mempunyai beberapa gugus dengan fungsi dasar elektron atau senyawa organik dengan dua atau lebih gugus donor elektron pada jarak tertentu. Setiap molekul akan membentuk satu atau lebih cincin dengan ion logam bervalensi dua atau lebih. Kompleks yang terjadi dengan cara ini disebut khelat karena berbentuk gunting(2).
Indikator dalam titrasi kompleksometri tidak berubah karena perubahan pH, tidak juga karena daya oksidasi titrat berubah, akan tetapi karena perubahan pM (M adalah khelat logam ) (3).
Syarat-syarat indikator logam, yaitu (4) :
  • Reaksi warnanya harus sensitif, dengan kepekaan yang besarterhadap logam.
  • Reaksi warnanya harus spesifik.
  • Perbedaan warna dari indikator bebas dengan indikator kompleks harus mempunyai kestabilan yang efektif dimana pH titrasi tidak boleh tidak teroksidasi dan tereduksi.
  • Kestabilan kompleks logam indikator harus cukup.
  • Reaksi pengusiran indikator oleh EDTA harus belangsung cepat
Dan berdasarkan perubahan warna dari indikator logam ini dapat kita beda-bedakan (1) :
  1. Cara titrasi langsung, pada titrasi ini larutan ion logam ditambah larutan dapar dan indikator, kemudian langsung dititrasi dengan komplekson III. Titrasi ini digunakan untuk penentuan ion-ion logam kalium, magnesium dan zink.
  2. Cara titrasi tidak langsung, digunakan untuk menentukan senyawa aluminium dan bismth, karena pada titrasi secara langsung terjadi kesalahan yang disebabkan karena pengendapan dari logam sebagai hidroksida dalam suasana alkali.
II.2 Uraian Bahan
  1. Aquades (5)
Nama resmi : Aqua destilata
Nama lain : Aquades
Pemerian : Cairan jenuh, tidak berwarna, tidak berbau, tidak berasa
RM/BM : H20/18,02
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat
Kegunaan : Sebagai pelarut
  1. Kalsium klorida (6)
    Nama resmi
    :
    Calcii chloridum
    Nama lain
    :
    Kalsium klorida
    RM/ BM
    :
    CaCl2/ 110,99
    Pemerian
    :
    Granul atau serpihan, putih keras, tidak berbau
    Kelarutan
    :
    Mudah larut dalam air, dalam etanol dan dalam etanol menidih; sangat mudah larut dalam air panas.
    Penyimpanan
    :
    Dalam wadah tertutup rapat
    Kegunaan
    :
    Sebagai sampel
    Persyaratan kadar
    :
    Mengandung tidak kurang 99,0%dan tidak lebih dari 107,0 % CaCl2.2H2O
  2. Asam klorida (6)
    Nama resmi
    :
    Acidum Hydochloridum
    Nama lain
    :
    Asam klorida
    RM/BM
    :
    H­Cl/ 36,46
    Pemerian
    :
    Cairan tidak berwarna, berasap, bau merangsang
    Kelarutan
    :
    Larut dengan 2 bagian molekul air, asap hilang
    Penyimpanan
    :
    Dalam wadah tertutup rapat
    Kegunaan
    :
    Sebagai pelarut


  3. Dinatrium adetat (6)
Nama resmi
:
Dinatrii adetat
Nama lain
:
Dinatrium adetat
RM/BM
:
C10H14N2Na­2O82.H2O/ 46,07
Pemerian
:
Cairan jernih tidak berwarna, tidak berbau
Kelarutan
:
Larut dalam air
Penyimpanan
:
Dalam wadah tertutup rapat
Kegunaan
:
Sebagai titran

  1. Biru Hidroksi naftol (5)
Nama resmi
:
Biru Hidroksi Naftol
RM/BM
:
C20H14N2O11S3 / 554,52
Pemerian
:
Hablur, biru kecil
Kelarutan
:
Mudah larut dalam air
Penyimpanan
:
Dalam wadah tertutup rapat
Kegunaan
:
Sebagai indikator

II.3 Prosedur Kerja (1)
Timbang seksama sejumlah contoh, larutkan dalam 25 ml air, untuk zat yang sukar larut dapat ditambahkan sedikit asam klorida encer. Encerkan dengan air secukupnya hingga 50 ml, tambahkan 20 ml larutan NaOH P titrasi dengan dinatrium EDTA 0,05 M menggunakan indikator campuran asam kalken karbonat P hingga warna merah muda berubah menjadi biru
Timbang seksama lebih kurang 1 g, masukkan ke dalam gelas piala 250 ml, larutkan dalam campuran 100 ml air dan 5 ml asam klorida 3 N. Pindahkan larutan ke dalam labu ukur 250-ml encerkan dengan air sampai tanda. Dipipet 50 ml larutan ke dalam erlenmeyer, tambahkan 100 ml air, 15 ml natrium hidroksida 1 N dan 300 mg indikator biru hidroksi naftol LP. Titrasi dengan dinatrium edetat 0,05 M sampai titik akhir berwarna biru tua (6).
1 ml dinatrium edetat 0,05 M setara dengan 7,351 mg CaCl2 2H2O

BAB III
METODE KERJA
III.1 Alat dan Bahan
III.1.1 Alat yang digunakan :
  • Buret 50 ml
  • Erlenmeyer 250 ml
  • Gelas kimia 100 ml
  • Gelas ukur 10 ml
  • Pipet skala
  • Pipet tetes
  • Pipet volume 10 ml
  • Sendok tanduk
  • Statif dan klem
  • Stirer Kertas laminating
  • Kain putih
  • Timbangan analitik
III.1.2 Bahan yang digunakan :
  • Aquadest
  • Aluminium foil
  • EBT (Erichrome Black)
  • Kalsium klorida (CaCl2)
  • Dinatrium etilen diamin tetra asetat (Na-EDTA) 0,05 M
  • Kertas timbang

III.2 Cara Kerja
  1. Disiapkan alat dan bahan yang digunakan.
  2. Dipipet seksama 10 ml larutan CaCl2 , kemudian dimasukkan ke dalam erlenmeyer lalu ditutup dengan aluminium foil.
  3. Ditambahkan HCl pekat kedalam erlenmeyer yang telah besisi CaCl2 .
  4. Dibuat larutan NaOH dengan cara ditimbang seksama 600 mg lalu ditambahkan aquadest sebanyak 15 ml kemudian dihomogenkan sampai larut.
  5. Ke dalam larutan CaCl2 ditambahkan larutan NaOH yang telah dibuat dan ditambahkan 1 mg EBT.
  6. Dititrasi secara perlahan-lahan dengan menggunakan titran Natrium EDTA, titik akhir titrasi ditandai dengan perubahan warna dari merah ungu menjadi biru.
  7. Titrasi dihentikan kemudian dicatat volume titran yang digunakan kemudian dihitung persen kadarnya.



BAB IV
HASIL PENGAMATAN

IV.1 Data Pengamatan
No.
Volume CaCl2
Volume Na-EDTA 0,05 M
Perubahan warna
1.
10 ml
2,5 ml
ungu larutan biru


BAB V
PEMBAHASAN

Titrasi kompleksometri adalah titrasi yang berdasarkan atas pembentukan kompleks yang larut dari reaksi komponen zat uji (logam) dengan titran (komplekson). Untuk penentuan ion-ion logam ini dengan pereaksi etilen diamin tetraasetat dinatrium, yang umumnya disebut EDTA dengan menggunakan indikator terhadap ion logam yang mempunyai sifat seperti halnya indikator pH pada titrasi asam basa/ dengan dasar pembentukan kompleks khelat yang digolongkan dalam golongan komplekson. Faktor-faktor seperti suhu, pelarut, ion lawannya atau zat-zat/ ion-ion pembentuk kompleks lainnya dapat mempengaruhi pembentukan kompleks khelat.
Prinsip dan dasar reaksi dalam penentuan ion-ion logam secara titrasi kompleksometri umumnya digunakan komplekson III (EDTA) sebagai zat pembentuk kompleks khelat, dimana EDTA bereaksi dengan ion-ion logam yang polivalent seperti Al , Bi , Ca dan Cu membentuk senyawa atau kompleks khelat yang stabil dan larut dalam air.
Ion kompleks adalah suatu senyawa bermuatan yang terbentuk oleh suatu ion sederhana dengan ion-ion lain atau molekul netral, pembentukan ion kompleks kooordinasi berlangsung bila ion pusat menerima elektron-elektron untuk mengisi orbital-orbital yang belum lengkap dengan penerimaan pasangan elektron fungsi oleh ion pusat. Garam kompleks adalah garam rangkap yang dalam larutannya memberikan ion-ion yang berbeda dengan ion-ion garam tunggal pembentuknya, dengan perkembangan ilmu kimia perhatian orang terhadap senyawa kompleks tidak hanya terbatas pada garam-garam saja, tetapi meluas pada persenyawaan-persenyawaan garam.
Pada percobaan ini sampel CaCl2 berbentuk larutan dipipet seksama sebanyak 100 ml, dalam tiap 10 ml mengandung CaCl2 50 mg. Sebelumnya diberi indikator EBT (Erichrome Black T) dan terjadi perubahan warna larutan dari putih menjadi merah ungu, yang terjadi karena ion Ca terikat pada EBT membentuk suatu kompleks. Lalu dititrasi dengan NaEDTA sampai terjadi perubahan warna larutan dari merah ungu menjadi biru yang terjadi karena pembentukan kompleks khelkat antara ion Ca dengan NaEDTA sehingga ketika ion Ca habis bereaksi dengan EDTA maka warnanya menjadi biru (warna EBT).
Pada percobaan ini sebelum dititrasi terlebih dahulu ditambahkan HCl kedalam larutan CaCl2, kemudian ditambahkan larutan NaOH. Penambahan HCl dan NaOH bertujuan untuk memperoleh pH tertentu yang tetap sehingga akan dihasilkan kompleks yang lebih stabil sehingga akan lebih memudahkan dalam pengamatan titik akhir titrasi Dari hasil percobaan diperoleh kadar CaCl2 adalah 102,237% , hal ini tidak sesuai dengan pustaka yang menyatakan tidak boleh lebih dari 102,0 %.
Faktor-faktor kesalahan yang mungkin menyebabkan perbedaan hasil tersebut adalah :
  • Sampel yang terlalu tua
  • Kurang teliti dalam penimbangan
  • Kesalahan dalam titrasi
  • Kurang teliti mengamati titik akhir titrasi
  • Titran yang sudah tidak bagus.

BAB VI
PENUTUP
VI.1 Kesimpulan
Persentase kemurnian CaCl2 adalah 102,237 % jadi tidak memenuhi syarat karena menurut pustaka tidak boleh lebih dari 102,0 %.
VI.2 Saran
Sebaiknya jumlah titran diperbanyak kemudian dibagikan dalam tiap kelompok sehingga dapat lebih memperlancar jalannya praktikum dan alat-alat dilengkapi.

DAFTAR PUSTAKA
  1. Susanti,S., Wunas,Y., (1979), Analisis Kimia Farmasi Kuantitatif, Lembaga Penerbitan UNHAS, Makassar, (141-145)
  2. Harjadi, W., (1990), Ilmu Kimia Analitik Dasar, Gramedia, Jakarta, 234,245
  3. Roth,H, J., Blasche, G., (1985), Analisis Farmasi, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 257-260
  4. Day, R.A, Underwood, A,A,L., (1993) Analisa Kimia Kualitatif, edisi IV, PT Erlangga, Jakarta, 152
  5. Ditjen POM, (1979), Farmakope Indonesia, Edisi III, Depertemen Kesehatan RI, Jakarta, 87, 673, 1027
  6. Ditjen POM, (1995), Farmakope Indonesia, Edisi IV, Depertemen Kesehatan RI, Jakarta, 179, 278, 930

SPEKTROFOTOMETRI


BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Kita sering melihat benda-benda bercahaya seperti matahari atau benda lainnya dan yang lebih familiar adalah lampu listrik yang dapat memancarkan spectrum luas yang terdiri dari banyak panjang gelombang. Panjang-panjang gelombang itu yang berhubungan dengan cahaya tanpak adalah mampu untuk mempengaruhi retina mata manusia dan karenanya menyebabkan kesan-kesan subjektif dari penglihatan tetapi banyak dari radiasi yang dipancarkan oleh benda-benda panas terletak di luar daerah dimana mata kita peka dan terlihat daerah-daerah ultranya (ungu) dan spectrum yang terletak di kedua sisi sinar tanpak.
Salah satu alat yang digunakan dalam analisis instrument pada prakteknya antara lain spektrofotometer sesuai dengan alat ini maka biasa disebut pula metode spektrofotometri karena menggunakan bantuan cahaya dalam pelaksanaannya.
Dalam percobaan ini digunakan alat khusus yaitu spektrofotometer uv dan visual untuk mengukur adsorban zat pada panjang gelombang tertentu dengan menggunakan sinar tanpak sebagai sumber cahayanya.
I.2 Maksud dan Tujuan
I.2.1 Maksud Percobaan
Mengetahui dan memahami cara penentuan kadar dari suatu senyawa dengan menggunakan metode spektrofotometri uv dan visible.
I.2.2 Tujuan Percobaan
Menentukan kadar asam salisilat, asam askorbat, dan kafein dengan cara mengukur adsorbannya pada panjang gelombang tertentu dengan menggunakan spektrofotometri

I.3 Prinsip Percobaan
Prinsip penentuan asam sdalisilat, asam askorbat, dan kafein menggunakan spektrofotometer uv atau visible yang disinari dengan cahaya tampak pada panjang gelombang tertentu yang mengenal molekul sampel tersebut, sehingga akan menyebabkan electron yang ada pada orbital terluar tereksitasi ke tingkat yang lebih tinggi sambil menyerap energy. Namun, karena tidak stabil maka electron itu akan kembali ke tingkat semula dengan melepaskan sejumlah energy yang setara dengan jumlah molekul dalam sampel yang akan terbaca sebagai adsorban pada spektrofotometer.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Uraian Bahan
  1. Air suling (4,96)
    Nama resmi : Aqua Destillata
    Sinonim : Air suling, Aquadest
    RM/BM : H2O/18,02
    Pemerian : Cairan jernih, tidak berwarna, tidak berasa, tidak mempunyai bau
    Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik Kegunaan : Pelarut

BAB III
METODE KERJA
III.1 Alat dan Bahan
III.1.1 Alat-alat yang digunakan
Alat-alat yang digunakan dalam percobaan ini adalah kertas timbang, lap kasar, lap halus, sendok tanduk, spektrofotometer, timbangan analitik.
III.1.2 Bahan-bahan yang digunakan
Bahan-bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah aquadest, kertas saring, vitamin C, asam salisilat, kafein.

III.2 Cara Kerja
  1. Vitamin C (uv)
  1. Disiapkan alat dan bahan
  2. Ditimbang 100 mg asam askorbat
  3. Ditambahkan sampai 100 ml dengan asam metaphosfat
  4. Dilakukan pengenceran hingga didapatkan 10ppm, 8ppm, 6ppm, 4ppm, dan 2ppm
  5. Dilakukan penetapan dengan spektrofotometer
  1. Vitamin C (Visual)
  1. Disiapkan alat dan bahan
  2. Ditimbang 100 mg asam askorbat
  3. Ditambahkan sampai 100 ml dengan asam metaphosfat
  4. Dilakukan pengenceran hingga didapatkan 10ppm, 8ppm, 6ppm, 4ppm, dan 2ppm
  5. Ditambahkan gugus kromofor DCIP
  6. Dilakukan penetapan dengan spektrofotometer

BAB VI
PENUTUP
VI.1 Kesimpulan 
        Kesimpulan yang dapat ditarik dari percobaan ini adalah
VI.2 Saran
  1. Sebaiknya alat dan bahan yang akan digunakan dalam praktikum mohon dilengkapi.
  2. Sebaiknya data yang diberikan adalah real dari hasil praktikum bukannya data yang dibuat-buat.
DAFTAR PUSTAKA
  1. Gritter, J.R., dkk., (1991), “ Kromatografi “, Penerbit Institut Teknologi Bandung, 1, 6, 8.
  2. Ditjen POM., (1995), “ Farmakope Indonesia “, Edisi IV, Departemen Kesehatan RI, Jakarta, 45, 46, 50, 1002
  3. Munson, J.R., (1991), “ Analisis Farmasi”, Bagian B, Airlangga University Press, Surabaya, 125, 128.
  4. Ditjen POM., (1979), “ Farmakope Indonesia “, Edisi III, Departemen Kesehatan RI, Jakarta, 41, 658, 151
  5. Svehla, G., (1985), “ VOGEL : Buku Teks Analisis Kualitatif Makro dan Semimikro “, PT Kalman Media Pustaka, Jakarta.

KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS


BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Berbagai metode kromatografi memberikan cara pemisahan paling kuat di laboratorium kimia. Gagasan dasarnya sederhana untuk dipahami, caranya beragam, mulai dari cara sederhana sampai yang agak rumit dari segi kerja dan peralatan, dan metode ini dipakai untuk setiap jenis senyawa. Metode ini pemanfaatannya secara luas untuk pemisahan analitik dan preparatif.
Kromatografi lapis tipis adalah suatu teknik pemisahan cara lama, digunakan secara luas, terutama dalam analisis campuran yang rumit dari sumber alam. Kromatografi lapis tipis lebih unggul bila sejumlah kondisi pemisahan yang berbeda-beda diperlukan untuk menangani penetapan kadar seluruh cuplikan, karena sejumlah bejana pengembang yang berisi berbagai sistem pelarut dapat lebih hemat dipakai. Keuntungan lain, tiadanya gangguan pelarut pada penyelidikan secara fotometri karena pelarut sebagai fase gerak telah diuapkan.
Pemisahan secara kromatografi dilakukan dengan cara mengotak-atik langsung beberapa sifat fisika umum dari molekul, pada sistem kromatografi, campuran yang akan dipisahkan ditempatkan dalam keadaan sedemikian rupa sehingga komponen-komponennya harus menunjukkan dua dari ketiga sifat tersebut yaitu kelarutan, adsorbsi, dan keatsirian.

I.2 Maksud dan Tujuan
I.2.1 Maksud Percobaan
Untuk mengetahui dan memahami cara-cara pemisahan dan identifikasi kation dan anion dengan menggunakan kromatografi lapis tipis.
I.2.2 Tujuan Percobaan
Memisahkan dan mengidentifikasi kation dan anion yang terdapat dalam suatu sampel dengan metode KLT.

I.3 Prinsip Percobaan
Penentuan jenis kation dan anion yang terkandung dalam suatu sampel dengan metode KLT berdasarkan kecepatan partisi dan adsorbsi dari zat uji ke dalam eluen dengan parameter nilai Rf dari noda yang terbentuk.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Teori Umum
Kromatografi lapis tipis adalah metode kromatografi cair yang paling sederhana. Pada Kromatografi lapis tipis dan kromatografi kertas serupa dalam hal fase diamnya berupa lapisan tipis dan fase geraknya mengalir karena kerja kapiler. Perbedaannya dalam sifat dan fungsi fase diam. Pada KLT, fase cair lapisan tipis (tebal 0,1-2 mm) yang terdiri dari bahan padat yang dilapiskan kepada permukaan penyangga datar yang biasanya terbuat dari kaca, tapi dapat pula terbuat dari pelat polimer atau logam. Lapisan melekat kepada permukaan dengan bantuan bahan pengikat, biasanya CaSO4 atau amilum (pati) (1).
Pada KLT, zat penyerap merupakan lapisan tipis serbuk halus yang dilapiskan pada lempeng kaca, plastik atau logam secara merata, umumnya digunakan lempeng kaca. Lempeng yang umumnya dapat dianggap sebagai kolom kromatografi terbuka dan pemisahan yang tercapai dapat didasarkan pada adsorbsi, partisi atau kombinasi kedua efek, tergantung dari jenis zat penyangga, cara pembuatan dan jenis pelarut yang digunakan (2).
KLT dengan lapis tipis penukar ion dapat digunakan untuk pemisahan senyawa polar. Perkiraan identifikasi diperoleh dengan pengamatan bercak dengan harga Rf yang identik dan ukuran hampir sama, dengan menotolkan zat uji dan baku pembanding pada lempeng yang sama. Perbandingan visual ukuran bercak yang dapat digunakan untuk memperkirakan kadar secara semikuantitatif (2).
Titik tempat campuran ditotolkan pada ujung pelat atau lembaran disebut titik awal dengan cara menempatkan cuplikan itu disana disebut penotolan. Garis depan pelarut adalah bagian atas fase gerak atau pelarut ketika ia bergerak melalui lapisan, dan setelah pengembangan selesai , merupakan tinggi maksimum yang diperoleh pelarut. Perilaku senyawa tertentu di dalam sistem kromatografi tertentu dinyatakan dengan harga Rf. Angka ini diperoleh dengan membagi jarak yang ditempuh oleh bercak linarut dengan jarak yang ditempuh oleh garis depan pelarut. Keduanya diukur dari titk awal dan harga Rf beragam mulai dari 0 sampai 1 (1).
Ada dua metode kuantitasi analit dalam KLT (cocok untuk bahan anti radioaktif). Pertama melibatkan sejumlah cara pengukuran langsung pada lempeng seperti pengukuran luas, perbandingan keterlihatan, atau densitometri. Kedua melibatkan pergerakan analit dari lempeng, diikuti dengan tahap kuantitasi. Masing-masing metode mempunyai keuntungan dan kerugian dan mempunyai kedudukan tersendiri dalam KLT kuantitatif. Teknik ini terutama ditekankan pada densitometri (3).
II.2 Uraian Bahan
  1. Asam asetat (4 ; 41)
Nama resmi : Acidum aceticum
Sinonim : Asam cuka
RM / BM : CH3COOH / 60,05
Pemerian : Cairan jernih, tidak berwarna, bau menusuk, rasa asam tajam.
Kelarutan : Dapat bercampur dengan air, dengan etanol 95 % Pdan dengan gliserol P.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat
Khasiat : Zat tambahan
Kegunaan : Pereaksi
  1. Benzen (4 ; 658)
Nama resmi : Benzen
Sinonim : Benzena
RM / BM : C6H6 / 78,11
Pemerian : Cairan tidak berwarna, transparan, mudah terbakar.
Kelarutan : Larut dalam air
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik
Khasiat : Zat tambahan
Kegunaan : Pereaksi/eluen
  1. Kloroform (4 ; 151)
Nama resmi : Chloroform
Sinonim : Kloroform
RM / BM : CHCl3 / 119,38
Pemerian : Cairan mudah menguap, tidak berwarna, bau khas,rasa manis dan 
                   membakar.
Kelarutan : Larut dalam lebih kurang 200 bagian air, mudah larut
dalam etanol mutlak P, dalam eter P, dalam sebagian
besar pelarut organik, dalam minyak atsiri dan dalam
minyak lemak.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik, bersumbat kaca, terlindung
dari cahaya.
Khasiat : Anestetik umum, pengawet, zat tambahan
Kegunaan : Reagensia/eluen
  1. Karbon tetraklorida (4 : 695)
Nama resmi : Karbon tetraklorida
RM / BM : CCl4 / 153,82
Pemerian : Cairan jernih mudah menguap, tidak berwarna, baukhas.
Kelarutan : Sangat sukar larut dalam air, dapat bercampur dengan
etanol mutlak dan dengan eter.
Penyimpanan : Dalam wadah bersumbat kaca.
Khasiat : Sebagai obat bius
Kegunaan : Reagensia/eluen
  1. Asam nitrat (4 : 650)
Nama resmi : Acidum nitricum
Sinonim : Asam nitrat
RM / BM : HNO3 / 63,01
Pemerian : Cairan berasap, sangat korosif, bau khas sangat merangsang.
Kelarutan : Larut dalam air.
Khasiat : Zat tambahan
Kegunaan : Pereaksi
  1. Dithizone (4 : 671)
Nama resmi : Difenilkarbazon
Sinonim : Difeniltiokarbazon
RM / BM : C6H5N=NCSNHNH5H6 / 256,32
Pemerian : Serbuk halus, kristal hitam.
Kelarutan : Larut dalam etanol
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup, bersuhu sejuk.
Khasiat : Pereaksi spesifik
Kegunaan : Pereaksi
  1. Parasetamol (4 : 37)
Nama resmi : Acetominophenum
Sinonim : Acetominofan, Parasetamol
RM / BM : C8H9NO2 / 151,16
Pemerian : Hablur atau serbuk hablur putih; tidak berbau; rasa pahit
Kelarutan : Larut dalam 70 bagian air, dalam 7 bagian etanol
(95%)p, dalam 13 bagian aceton p, dan dalam 40 bagian gliserol p
Penyimpanan : dalam wadah tertutup baik, berlindung dari cahaya
Kegunaan : sebagai sampel
  1. Asetosal (4 : 43)
Nama resmi : Acidum acetylsalicylicum
Sinonim : Asetosal, Asam asetil salisilat
RM / BM : C9H8O4 / 180,16
Pemerian : Hablur tidak berwarna atau serbuk hablur putih; tidak
berbau atau hamper tidak berbau; rasa asam
Kelarutan : Agak sukar larut dalam air, mudah larut dalam etanol (95%) p; larut dalam kloroform p dan dalam eter p
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik
Kegunaan : sebagai sampel
  1. Asam salisilat (4 : 56)
Nama resmi : Acidum salycylicum
Sinonim : Asam salisilat
RM / BM : C7H6O3 / 138,12
Pemerian : Hablur ringan tidak berwarna atau serbuk berwarna putih; hamper tidak berbau; rasa agak manis dan tajam
Kelarutan : Larut dalam 550 bagian air dan dalam 4 bagian etanol (95%) p; mudah larut dalam kloroform p dan dalam eter p; larut dalam larutan ammonium asetat p,dinatrium hidrogenfosfat p, kalium sitrat p dan natriumsitrat p
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik
Khasiat : Keratolitikum, anti fungi
Kegunaan : Sebagai sampel
  1. Antalgin (4 : 369)
Nama resmi : Metampyronum
Sinonim : Metampiron, Antalgin
RM / BM : C13H16N3N4O4S.H2O / 357,37
Pemerian : Serbuk hablur putih atau putih kekuningan
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik
     Kegunaan : Sebagai sampel
  1. Sulfadiazin (4 : 579)
Nama resmi : Sulfadiazinum
Sinonim : Sulfadiazin
RM / BM : C10H10N4O2S / 250,27
Pemerian : Serbuk putih, putih kekuningan atau putih agak merah jambu; hampir tidak berbau, tidak lama
Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air; agak sukar larut dalam etanol (95%) p dan aseton p
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik terlindung dari cahaya
Kegunaan : Sebagai sampel
  1. Kafein (4 : 125)
Nama resmi : Coffein
Sinonim : Kafein
RM / BM : C6H10N4O2 / 197,19
Pemerian : Serbuk atau hablur bentuk jarum, mengkilat, biasanya menggumpal putih; tidak berbau; rasa pahit
Kelarutan : Agak sukar larut dalam air dan dalam etanol (95%) p;mudah larut dalam kloroform p; dan sukar larut dalam eter p
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik
Kegunaan : Sebagai sampel
II.3 Prosedur Kerja
Buatlah eluen benzena-CCl4 dan benzena-kloroform dengan perbandingan 10:1. Buatlah sampel 0,1 % sebanyak 10 ml dengan air suling. Siapkan chamber dan jenuhkan dengan eluen yang akan digunakan. Tambahkan beberapa tetes asam asetat sampai pH 5 dengan menggunakan kertas pH universal. Buatlah 10 ml larutan ditizon 0,1 % dalam kloroform. Masukkan sampel dengan corong pisah, kemudian masukkan juga larutan ditizon 0,1 %. Kocok dengan sekali-kali tutupnya dibuka. Kemudian diamkan beberapa saat agar terpisah dengan baik. Pisahkan larutan, kemudian yang berada di bagian bawah masukkan lagi ke dalam corong pisah. Masukkan 10 ml HNO3 0,02 N dalam corong pisah, lalu kocok dengan sekali-sekali tutupnya dibuka, kemudian diamkan dan pisahkan. Tampung larutan bagian bawah dalam botol vial dan totolkan pada lempeng kemudian elusi. Catat spot yang terbentuk dan hitung nilai Rf yang terbentuk.

BAB III
METODE KERJA
III.1 Alat dan Bahan
III.1.1 Alat-alat yang digunakan
Alat-alat yang digunakan dalam percobaan ini adalah Botol eluen, Corong pisah, Gelas chamber dan penutupnya, Gelas phiala, Gelas ukur 10 ml, Lempeng kromatografi (silika gel), Penotol, Pinset, Vial
III.1.2 Bahan-bahan yang digunakan
Bahan-bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah Air suling, Eluen Benzena-CCl4 10:1, Etanol 95 % , Kertas saring, Kertas pH, Larutan asam nitrat 0,02 N, Larutan Dithizon 0,1 % dalam kloroform

III.2 Cara Kerja
  1. Dibuat eluen benzena-CCl4 dengan perbandingan 10:1
  2. Disiapkan chamber dan dijenuhkan dengan eluen benzena-CCl4
  3. Dibuat sampel 0,1 % sebanyak 10 ml dengan air suling
  4. Diukur pH larutan sampel dengan kertas pH
  5. Dimasukkan ke dalam corong pisah sampel dan larutan ditizon 0,1 % dalam kloroform sebanyak 10 ml. Dikocok dengan sekali-kali tutupnya dibuka. Lalu larutan didiamkan beberapa saat agar terpisah dengan baik.
  6. Larutan dipisahkan.
  7. Larutan yang berada dibawah dimasukkan lagi ke dalam corong pisah
  8. Dimasukkan ke dalam corong pisah 10 ml HNO3 0,02 N dalam corong pisah, lalu dikocok dengan sekali-sekali tutupnya dibuka, kemudian didiamkan dan dipisahkan.
  9. Ditampung larutan di bagian bawah dalam botol vial dan ditotolkan pada lempeng kemudian dielusi.
  10. Dicatat spot yang terbentuk dan dihitung nilai Rf yang terbentuk.

BAB IV
HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN
IV.1 Hasil pengamatan
IV.1.1 Data Pengamatan
No.
Jumlah noda
Kode zat
Warna noda
Jarak noda
Jarak eluen
1.
2.

3.

4.

5.
1
2

2

2

3


I
X

Y

S

R


Merah muda
Coklat
Coklat muda
Merah muda
Coklat
Ungu
Merah muda
Orange
Coklat
Merah muda
3,2
0,9
4,8
3,2
4,0
4,6
3,8
4,8
4,5
3,7
5,5
5,5
5,5
5,5
5,5
5,5
5,5
5,5
5,5
5,5

IV.1.2 Perhitungan
                    Jarak yang ditempuh oleh noda
Rf =
         Jarak yang ditempuh oleh eluen

Kode sampel I
Rf = 3,2 / 5,5
Rf = 0,581 (noda merah muda)
Kode sampel X
Rf = 0,9 / 5,5
Rf = 0,163 (coklat)
Rf =4,8 / 5,5
Rf = 0,872 (coklat muda)
 Kode sampel Y
Rf = 3,2 / 5,5
Rf = 0,581 (merah muda)

Rf = 4,0 / 5,5
Rf = 0,727 (coklat)

Kode sampel S
Rf = 4,6 / 5,5
Rf = 0,836 (ungu)

Rf = 3,8 / 5,5
Rf = 0,690 (merah muda)

Kode sampel R
Rf = 4,8 / 5,5
Rf = 0,873 (orange)

Rf = 4,5 / 5,5
Rf = 0,818 (coklat)

Rf = 3,7 / 5,5
Rf = 0,627 (merah muda)

IV.2 Pembahasan
Pada percobaan ini dilakuakan pengidentifikasian kation dan anion dengan menggunakan kromatografi lapis tipis berdasarkan kecepatan partisi dan adsorbsi dari zat uji ke dalam eluen dengan parameter Rf dari noda yang terbentuk. Lempeng yang digunakan menggunakan adsorben yang terbuat dari silika gel.
Peralatan yang digunakan pada KLT ini meliputi suatu lempeng tipis. Dengan batuan alat ini bahan sorben dapat dibuat rata pada pelat dan dapat dilapiskan dengan ketebalan yang diinginkan. Pelat ini memungkinkan sejumlah larutan diperiksa dan larutan pembanding ditotolkan padab titik awal. Selain pelat juga digunakan bejana kromatografi dari bahan tembus cahaya dengan tutup rapat. Bejana dilapisi kertas saring dan sejumlah besar fase gerak dituangkan untuk penjenuhan kertas dan pada dasar bejana diisi dengan pelarut pengembang setinggi 1,5 ml. Ditutup dan dibiarkan jenuh dengan eluen.
Adsorben yang paling banyak digunakan dalam kromatografi lapis tipis adalah silika gel dan aluminium oksida. Silika gel umumnya mengandung bahan tambahan kalsium sulfat untuk mempertinggi daya lekatnya. Silika gel digunakan sebagai adsorben untuk kromatografi senyawa-senyawa netral, asam dan basa. Selain itu silika gel mempunyai efek pemisahan melalui proses adsorbsi dan partisi.
Larutan zat uji ditotolkan 2,5 cm dari bawah dan minimum 2 cm dari sisi pelat, sedemikian rupa sehingga terjadi noda teratur yang maksimum berdiameter 6 mm, tetapi pada percobaan ini syarat tersebut tidak diperhatikan sehingga lempeng yang digunakan lebernya sangat kecil. Penotol yang digunakan sebaiknya berdiameter 0,1 mm – 1 mm, sehingga larutan zat uji yang digunakan juga sesuai dengan apa yang diinginkan.
Setelah ditotolkan, pelat diuapkan. Lalu pelat diletakkanvertikal dalam bejana kromatografi dan titik awal harus tetap berada disebelah atas permukaan fase mobil. Bejana ditutup dan disimpan pada suhu 20 – 25 oC. Jika fase gerak sudah melewati trayek yang diberikan dalam monografi, pelat dikeluarkan dari bejana dan dikeringkan diudara. Cara pengembangan pada KLT adalah menaik.
Untuk KLT dapat digunakan metode identifikasi dengan menggunakan pereaksi kimia. Pereaksi yang sering digunakan asam sulfat pekat dalam bentuk yang disemprotkan. Akan terbentuk noda gelap senyawa yang dipisahkan karena terjadi pengarangan. Tetapi pada praktikum ini tidak digunakan pereaksi karena senyawa yang ingin dipisahkan sudah berwarna.
Harga Rf merupakan parameter karasteritik kromatografi kertas dan kromatografi lapis tipis. Harga ini merupakan ukuran kecepatan migrasi suatu senyawa pada kromatogram dan pada kondisi konstan merupakan besaran karasteristikdan reproduksibel. Harga Rf didefinisikan sebagai perbandingan antara jarak senyawa dari titik awal dan jarak tepi muka pelarut dari titik awal. Harga Rf dipengaruhi oleh faktor berikut :
    • Pelarut yang digunakan
    • Bahan pengemban (jenis dan ketebalan lapisan).
    • Suhu.
    • Kejenuhan ruangan akan pelarut.
    • Kelembaban udara.
    • Konsentrasi dan komposisi larutan yang diperiksa.
    • Panjang trayek migrasi.
    • Senyawa asing dan pencemaran pelarut.
    • Ketidakhomogenan lempeng.
Berdasarkan faktor-faktor diatas, maka kesalahan dalam melakuakn peraktikum ini tetap mesti ada. Misalnya suhu udara padasaat praktikum dan kelembaban udara, karena pada saat praktikum diluar hujan. Selain itu Cuma digunakan satu jenis adsorben, sehingga pemisahan yang dilakukan kurang teliti karena harga Rf-nya dan warna bercak mungkin saja bisa sama.

BAB VI
PENUTUP
VI.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat ditarik dari percobaan ini adalah
No.
Kode sampel
Sampel yang digunakan
1.
2.
3.
4.
5.
I
X
Y
S
R
CaCl2
Semua zat
Pb asetat
NaCl
ZnCl2
VI.2 Saran
Agar di dalam praktikum ini eluen yang digunakan berbagai jenis dan perbandingan serta lempeng yang digunakan mempunyai fase diam yang berbeda-beda misalnya alumin dan selulosa, sehingga hasil yang diinginkan lebih teliti.

DAFTAR PUSTAKA
  1. Gritter, J.R., dkk., (1991), “ Kromatografi “, Penerbit Institut Teknologi Bandung, 1, 6, 8.
  2. Ditjen POM., (1995), “ Farmakope Indonesia “, Edisi IV, Departemen Kesehatan RI, Jakarta, 45, 46, 50, 1002
  3. Munson, J.R., (1991), “ Analisis Farmasi”, Bagian B, Airlangga University Press, Surabaya, 125, 128.
  4. Ditjen POM., (1979), “ Farmakope Indonesia “, Edisi III, Departemen Kesehatan RI, Jakarta, 41, 658, 151
  5. Svehla, G., (1985), “ VOGEL : Buku Teks Analisis Kualitatif Makro dan Semimikro “, PT Kalman Media Pustaka, Jakarta.